Thursday 24 October 2013

The Affection

Dear Diare...

Aku mau mengeluarkan kata mutiara, nih.

Ternyata, jika seseorang sudah sayang pada seseorang, bertemu dengannya lebih menguras emosi daripada tersakiti olehnya.

Misalnya begini:

Kamu adalah seorang cewek. Kamu sayang sama seseorang, dan rasa sayang itu udah lama nginap di hati kamu. Eh tapi si dia... jangankan sayang, suka aja enggak, dia nya nggak mau berhubungan sama kamu. Kamu kecewa, kan? Padahal kamu udah nggak kontekan sama si dia untuk waktu yang nggak sebentar, tapi tetap aja sang rasa nggak mau angkat kaki. Kamu udah berusaha buat ngelakuin yang dia mau: jangan ngubungin dia lagi. Tetap aja kamu kepikiran dia. Dan jleb-nya, dia malah bisa ngejalanin hidupnya seperti biasa. Sehat sentosa dan sejahtera. Ya, dia sama sekali nggak ada masalah.



Nah, pada suatu hari, di siang yang terik ataupun mendung, tanpa diduga-duga, kamu ada kesempatan jumpa sama si dia. Saat itu kamu bener-bener nggak nyangka. Dia ada di depan kamu, ngeliat kamu, dan bicara sama kamu. Ya, sama kamu. Buat yang pertama kalinya setelah beberapa waktu lamanya kamu 'terpisah' dari dia, kamu kembali bisa ngeliat sosoknya. Tinggi badannya, hitam rambutnya, lebar senyumnya, gaya pakaiannya, dan hal-hal lain yang kamu rindukan darinya.

Dia ngebentuk senyumnya buat kamu. Yah, kamu nggak tau senyumnya itu ikhlas atau terpaksa, yang penting bagi kamu dan hati kamu adalah... dia senyum sama kamu. Lalu dia bicara. Mungkin sekedar menyapa, "hai" atau "apa kabar?" atau "mau kemana?" atau "duluan ya". Kamu denger suaranya lagi! Senengnya... ^^ Nada suaranya yang udah mulai terhapus dari ingatan kamu kembali masuk ke telinga, menyusuri syaraf kemudian berpencar ke otak dan ke hati. Anehnya suaranya itu lebih banyak masuk ke hati kamu, jadi saat itu juga hati kamu berguncang dengan sangat keras sampai menggoyang lambung kamu, yang menyebabkan kupu-kupu di dalamnya bangun dari 'tidur'nya dan langsung berterbangan kesana-kemari, menabrak dinding lambung kamu, jadi kamu merasa agak 'mules'. Yah, mungkin itu rasanya. Tapi sialnya, efeknya juga merambat ke 'syaraf kosakata' kamu, jadi kamu kalang kabut buat ngerespon ucapan si dia. Kamu bingung mau ngomong apa ke dia... Kamu takut salah dalam berucap... Dan kamu nggak mau buat dia jadi ilfil dengan kata-kata yang bakal kamu keluarin. Alhasil, kamu pasrah pada takdir, yang ternyata ngebuat kamu jadi ngomong seadanya, bahkan terlalu seadanya. Kamu ngomong dengan terbata-bata seperti seorang siswi yang baru pertama kali presentasi di depan kelas. Misalnya yang keluar dari mulut kamu adalah "baik..." atau "enggak... ini... tadi... lagi ini..." atau "mau ke sana" atau hanya sekedar "i...iya". Setelah itu, dalam sekejap, dia pamit dengan senyuman--terpaksa--nya dan ngeluyur pergi ninggalin kamu yang masih terpaku akan sosoknya yang udah ngilang.

Untuk beberapa milidetik kamu terdiam. Wajah dan suaranya masih menggaung di antara alam sadar dan bawah sadar kamu, Kamu berusaha buat berpikir jernih, ngembaliin fokus otak kamu yang tadi nge-lag. Usaha kamu ini memaksa jantung kamu bekerja lebih keras untuk memompa darah ke otak kamu, jadi kamu bergetar tanpa kamu mau. Nah, agar kerjanya optimal, jantung kamu butuh oksigen yang lebih banyak untuk mendorong pompanya. Kamu merasa sesak, dan tanpa disuruh kamu bernapas dengan ritme yang nggak beraturan. Karena 'program kerja' yang mendadak itu, hati kamu jadi tertekan. Lalu hati kamu ngambek, dan ngadu sama emosi dan perasaan kamu. Emosi kamu langsung meledak, membuat syaraf-syaraf di tubuh kamu jadi nggak bisa tenang. Tapi perasaan kamu berusaha buat nenangin kamu, walaupun perasaan kamu lebih nggak tenang daripada si emosi. Emosi kamu yang tadi meledak, sekarang tumpang-tindih sama perasaan kamu. Kamu ngerasa nggak karuan sekarang karena otak kamu masih belum bisa ngambil alih. Senang, sedih, gugup, kaget, kaku, dan malu, semuanya bercampur seperti es teler. Senang karena kamu jumpa sama si dia, sedih karena kamu nggak ngomong yang lebih berarti, gugup karena kamu berhadapan sama dia, kaget karena pertemuan kalian nggak terduga, kaku karena udah lama nggak jumpa dia, dan malu karena kamu keliatan seperti anak kecil atau mungkin orang bodoh di depannya.

Lalu, tanpa kamu mau dan kamu nggak berhasil mencegahnya, air mata kamu didorong keluar oleh pertarungan sengit emosi dan perasaan kamu. Ya, kamu nangis. Kamu nangis tanpa peduli orang lain akan ngeliat. Kamu nangis, namun kamu berusaha sebisa mungkin buat ngendaliinnya.

Kamu nangis bukan karena kamu sedih, tapi karena kamu terlalu senang.

Ya... Kamu menangis karenanya.

Itulah yang aku maksud.

Pertemuan kamu dengan orang yang kamu sayang bisa mengalahkan rasa sakit kamu karena dia.

Jadi...
That is all.
Menyakitkan, memang.

No comments:

Post a Comment