Wednesday 23 April 2014

Will I See You Again?

Hi, Sayang, selamat tengah malam. Apa yang sedang kaulakukan sekarang? Aku melihat Facebook-mu sedang online. Oh tenang saja, aku tidak senekat itu untuk menyapamu sekarang. Aku tidak ingin mengusik ketenanganmu.

Dua hari telah berlalu sejak kau tak lagi menginjak tempat itu. Sepi. Aku merasakan sepi yang lebih. Padahal sudah hampir tiga minggu aku tidak melihatmu, bahkan sedari saat kau masih ada di sana. Kita berada di tempat yang sama, gedung yang sama, namun selama hampir tiga minggu itu aku sengaja menjauh agar kau tidak melihat sosokku. Semuanya lari dari rencana. Aku sebelumnya ingin memuaskan batinku untuk memandangmu sesering mungkin sebelum kau pergi. Namun beberapa hal telah terjadi, membuat keinginanku memudar. Aku tak lagi berlama-lama menantikanmu keluar, tak lagi berusaha untuk melihatmu. Hal itu kulakukan dengan memegang keyakinan bahwa nanti kita pasti akan bertemu lagi. Dan kenyataan bahwa kita menginjak area yang sama serta menghirup udara yang sama membuatku semakin ringan menjalankannya.

Monday 21 April 2014

-

Aku lelah. Rasanya hidupku semakin tak bertujuan. Fokusku belum juga kembali. Apapun yang ingin kulakukan tak pernah tersampaikan.

Berat. Hal-hal yang seharusnya tak menjadi beban terasa sangat menyiksa pundakku. Aku melemah, aku semakin melemah.

Aku sudah mencoba melakukan semua yang kupikir akan membuatku melupakan. Aku sudah berusaha untuk tidak terlalu bermanja-manja pada keterpurukan. Aku juga selalu berusaha untuk bersikap biasa, tidak menunjukkan adanya luka. Namun semua itu tetap tak berguna.

Sunday 20 April 2014

Tutup Botol

"Kelen dua bersaudara jugak?" tanya Bu Lela padaku saat beliau, aku dan Bela sedang mengobrol di ruang tamu rumah mereka.

"Iya, Buk," jawabku.

"Cewek jugak dua-duanya?"

"Iya..."

"Sama berarti ya... Itu si Dedek tiga bersaudara, anak paling kecil, cowok semua."

"Oh abang itu bungsu?"

Friday 18 April 2014

A Painful Dream

Semalam aku bermimpi buruk lagi. Tentang salah satu teman laki-lakiku di kampus.

Kami sedang duduk berdua, berbicara akrab. Kami seperti sudah berteman dekat, padahal kenyataannya aku tidak seakrab itu dengannya. Kami mengobrol lama. Saat langit sudah gelap, aku berpamitan dengannya. Kami saling melambaikan tangan. Dan saat aku sudah berjalan menjauh dari tempatnya berdiri, aku masih melihatnya, dia masih melambaikan tangannya. Saat itulah hal buruk itu terjadi. Secercah sinar kuning lebar muncul menyinari dirinya dari belakang, membuatnya menjadi siluet. Sekuat tenaga aku ingin berteriak...

... namun mobil itu sudah lebih dulu menabraknya.

Aku terdiam. Aku tak tahu harus berbuat apa.

Dia tertabrak.

Wednesday 16 April 2014

Forgetting

Life has a way of going in circles. Ideally, it would be a straight path forward––we'd always know where we were going, we'd always be able to move on and leave everything else behind. There would be nothing but the present and the future. Instead, we always find ourselves where we started. When we try to move ahead, we end up taking a step back. We carry everything with us, the weight exhausting us until we want to collapse and give up.

We forget things we try to remember. We remember things we'd rather forget. The most frightening thing about memory is that it leaves no choice. It has mastered an incomprehensible art of forgetting. It erases, it smudges, it fills in blank spaces with details that don't exist. But however we remember it––or choose to remember it––the past is the foundation that holds our lives in place. Without its support, we'd have nothing for guidance. We spend so much time focused on what lies ahead, when what has fallen behind is just as important. What defines us isn't where we're going, but where we've been. Although there are places and people we will never see again, and although we move on and let them go, they remain a part of who we are.

There are things that will never change, things we will carry along with us always. But as we venture into the murky future, we must find our strength by learning to leave things behind.

(Brigid Gorry-Hines)

Sunday 13 April 2014

Slow...ly

"I am taking this in, slowly,
Taking it into my body.
This grief. How slow
The body is to realize
You are never coming back."

 ▬

Friday 11 April 2014

Make It or Not

"... Bulggogi! Kalok udah liat iklan itu gilak ingat si Kaka aja Pani," ujar adikku saat dia sedang sibuk mengerjakan tugas Bahasa Jepang nya dan aku sibuk online di hp. Aku tertawa.
"Nggak ngerti tu pasti," katanya karena aku tidak berkata apa-apa.
"Ngerti... Ngerti..."
"Liat iklan itu, kuingat dia~" dia bernyanyi dengan suara false-nya. Aku terkekeh. "Liat Justin Bieber, kuingat dia~"
"Justin Bieber? Serius?" tanyaku meragukan bahwa dia teringat anak itu kalau melihat Justin Bieber.
"Iya..."
"Ah, Kakak aja nggak sampek segitunya,"
"Liat serigala, kuingat dia~"
"Gyahahahahahaha... Buat status itu! Eh, tapi kakak aja lah yang buat. Tapi jangan serigala lah, nampak kali. Oh--Twilight! Siapa nama pemeran si Taylor itu? Eh, maksudnya nama peran si Taylor," kataku dalam keadaan terjungkang-jangkeng (?)
"Jacob. Jangan Twilight lah, kan bukan khusus serigala itu, itu vampir..."
"Siapa nama panjangnya Jacob? Iya lah buat status itu lah," kataku, tidak menghiraukan nasihatnya. Lalu aku mulai bertanya pada Om Gugel tentang nama lengkapnya si Jacob.
"Nggak tau Pani," jawabnya sambil melanjutkan tugasnya.
Beberapa lama kemudian aku kembali bertanya pada adikku, "Yakin, Pan, kakak buat status itu?"
"Kenapa enggak?"

Hah~ Sampai sekarang aku belum memutuskan untuk membuat status itu atau tidak.

Buat, tidak, ya?

Tuesday 8 April 2014

Early Rise

Pagi ini aku terbangun di jam setengah 6. Entah apa yang membuatku bangun secepat ini. Padahal hari ini ujian; di hari kuliah biasa saja aku bangun jam 7.

Aku terbangun dengan headset masih menempel di kedua telingaku. Setelah mematikan pemutar lagu, aku melihat jam, lalu membatin, 'cuma tidur 3 jam...' tapi aku tidak mengantuk.

Apa ini termasuk hal normal...bagiku?

Monday 7 April 2014

The Attentive Gaze

Pukul 1.40 AM. Aku masih terjaga. Mataku masih segar menatap layar hp, dan tanganku masih belum lelah mengotak-atiknya. Sembari mendengarkan lantunan lagu-lagu yang mengalir lewat wayar headsetku, aku melakukan apa yang bisa aku lakukan di hp, seperti SMS-an dan BBM-an. Aku sedang SMS-an dengan teman cowokku, dan BBM-an dengan teman cewekku.

Di sela-sela itu, beberapa saat lalu, aku tiba-tiba terpikir akan orang yang aku sedang SMS-an dengannya itu. Ingatanku terbawa ke saat aku sedang menangis di depan rumah seseorang. Aku berjongkok di sudut teras rumah itu, dan temanku itu juga berjongkok tepat di depanku. Saat itu aku sedang gundah, bingung akan apa yang harus dilakukan, frustrasi. Satu-satunya yang dapat aku lakukan adalah menangis; mengeluhkan apa yang sedang aku rasakan.

Sunday 6 April 2014

I am Not

Ia bangun setiap pagi dengan keinginan untuk melakukan segalanya dengan benar, menjadi seseorang yang baik dan berarti, menjadi sesederhana yang terdengar, dan setidakmungkin apapun itu, menjadi bahagia.

Dan di setiap harinya hatinya akan turun dari dadanya ke perutnya.

Di sore hari ia dikuasai oleh perasaan bahwa tidak ada yang benar, atau tidak ada yang benar bagi dirinya, dan oleh keinginan untuk sendiri.

Di malam hari ia merasa puas, sendirian di dalam besarnya rasa sedihnya, sendirian di dalam rasa bersalahnya yang tak berarah, sendirian bahkan di dalam rasa sepinya.

Wednesday 2 April 2014

Fear and Guilt

Mama membelikanku tas baru. Jenis yang sama (tas ransel) dan warna yang sama (coklat), hanya modelnya saja yang berbeda. Yang baru ini tidak ada penutup tasnya, dan aku kurang suka modelnya. Tapi bukan itu yang kupermasalahkan. Mama bersikeras menyuruhku untuk menggunakannya.

Kalian tahu... Trauma itu masih tertancap dalam. Aku takut, seolah-olah kejadian malam itu akan terjadi lagi dengan mudahnya. Saat aku menyampirkan tas ini di punggungku, seperti tergores sesuatu, hatiku terasa sakit. Adegan itu kembali terputar di kepalaku, beberapa kali. Rasanya batinku belum siap untuk mengizinkan diriku memakai tas ini.

Kalian pasti berpikir bahwa aku ini berlebihan, kan? Hanya kejadian seperti itu saja tidak bisa diikhlaskan.

Maaf, seperti inilah aku. Mengikhlaskan saja aku belum mampu, apalagi melupakan. Bukan masalah harga, tapi masalah ingatan. Ingatan itu terus memberiku bayangan akan rasa takut...

... dan rasa bersalah.

Mengapa kehilangan itu begitu menyakitkan?

Tuesday 1 April 2014

Kimi... Hansamu

Sayang, kamu tau nggak... Aku suka liat cowok make jas. Di mataku, cowok yang lagi make jas itu keliatan keren, karena jas itu bisa nutupin kekurangan dan nambah hal plus si pemake. Apalagi jasnya warna item. Yang badannya kurus jadi keliatan berisi dan tegap, yang badannya gemuk jadi keliatan proporsional. Jas juga bisa buat nyamarin kulit yang gelap (kayak body lotion :v), apalagi yang make jas itu orangnya putih, wih... bisa ngiler-ngiler adek liatnya, bang.

Jadi, kenapa aku tiba-tiba cerita begini? Karena waktu itu aku ngeliat kamu, Sayang. Kamu lagi make jas. ^^ Kamu make jas item, dasi, dan kacamata. Sumpah demi masa depan kamu, aku bener-bener pangling ngeliat penampilan kamu begitu. Ah, aku nyesel waktu itu aku langsung pergi pas temen kamu manggil kamu buat aku. Seharusnya aku bisa ngeliat kamu lebih lama di situ.

Kamu yang notabenenya bertubuh tinggi jadi keliatan tambah tinggi. Postur kamu jadi tegap, proporsional gitu. Wajah kamu keliatan berseri. Apalagi kamu make kacamata, kamu terkesan cerdas dan pekerja keras. Selain jadi dokter, ternyata kamu cocok juga jadi pria kantoran. Manajer, mungkin? Hahaha...

Sayang, aku suka sekali ngeliat kamu berpenampilan begitu. Mungkin bukan cuma menurutku. Aku yakin, cewek-cewek lain yang ngeliat pasti juga berpendapat gitu. Buktinya, pas ngeliat foto kamu dengan penampilan itu, temen-temenku bilang kamu ganteng, bahkan pake 'kali'. Hahaha...

Well, intinya, aku mau bilang...

... Sayang, kamu tampan.

Kapan kamu pake jas dan kacamata lagi?

P.S.:
Aku lagi duduk di City Ice Cream Palladium. Sendirian. Tanpa teman. Okai. Akurapopo.