Friday 18 April 2014

A Painful Dream

Semalam aku bermimpi buruk lagi. Tentang salah satu teman laki-lakiku di kampus.

Kami sedang duduk berdua, berbicara akrab. Kami seperti sudah berteman dekat, padahal kenyataannya aku tidak seakrab itu dengannya. Kami mengobrol lama. Saat langit sudah gelap, aku berpamitan dengannya. Kami saling melambaikan tangan. Dan saat aku sudah berjalan menjauh dari tempatnya berdiri, aku masih melihatnya, dia masih melambaikan tangannya. Saat itulah hal buruk itu terjadi. Secercah sinar kuning lebar muncul menyinari dirinya dari belakang, membuatnya menjadi siluet. Sekuat tenaga aku ingin berteriak...

... namun mobil itu sudah lebih dulu menabraknya.

Aku terdiam. Aku tak tahu harus berbuat apa.

Dia tertabrak.



Aku merasa seperti tersambar petir. Rasanya darahku berhenti mengalir. Hal yang baru saja aku lihat sangat menyakitkanku. Aku bahkan tak mengerti apa yang sedang aku rasakan.

Hitam, kelam.

Dingin.

'Aku kehilangan lagi...'

Beberapa detik setelahnya, seperti orang yang kehilangan akal aku berlari. Bukan mendekatinya, tapi menjauhinya. Menjauh dari tubuhnya. Menjauh, sejauh yang aku bisa. Menjauh, agar aku tidak merasakan sakit yang lebih.

Aku sudah pernah kehilangan seorang teman; teman dekatku, Irsan. Aku tak ingin kehilangan lagi dalam waktu sesingkat ini.

Aku memang tidak dekat dengan teman kampusku ini, tapi di mimpi itu aku tau bagaimana rasanya menjadi akrab dengannya, dan rasa akrab itu masih menempel di diriku. Sampai sekarang mimpi itu masih menyakitkanku. Aku menangis saat kejadian itu terputar di ingatanku.

Saat aku bangun pikiranku langsung tertuju padanya. Batinku menggebu-gebu ingin melihatnya, berbicara dengannya; memastikan bahwa dia baik-baik saja.

Di kampus, setelah aku keluar dari kelas ujian, aku melihat ke lantai di pinggir lapangan tepat di depan ruangan ujiannya, tempat dimana dia selalu duduk setelah selesai ujian. Beberapa lama dia belum keluar. Aku menunggu sembari berbicara dengan teman-temanku yang lain. Dan dia pun muncul dari dalam kelas, lalu langsung duduk di tempat itu. Aku segera mendekat dan duduk di sampingnya. Aku langsung menolehkan kepalaku ke arahnya; memandangnya.

"Hai, apa kabar?" Dia bertanya setelah beberapa detik aku tidak mengatakan apa-apa. Asap rokok menguar dari sela bibirnya.

Untuk beberapa detik aku tidak menjawab. Lalu... "I had a bad dream about you,"

"Wow! Apa itu?" Matanya tertuju padaku.

"Uhm..." Aku ragu untuk mengatakannya. Dan aku tidak berani melihat matanya.

"Ngeri rupanya?"

"...Very..."

"Udah, tenang aja. Biasanya mimpi yang buruk-buruk itu di kenyataan kebalikannya," katanya sambil menghela udara dengan tangannya.

"Amin... Semoga aja,"

"Jadi mimpi apa?"

Aku menceritakan mimpiku dengan terbata-bata. Di akhir ceritaku yang singkat, dia menyengir.

"Kayak ada sinar-sinar gitu lho... 'Cring~' gitu,"

Aku lupa apa yang dikatakannya. Saat itu aku ingin sekali memeluknya. Rasanya aku benar-benar tidak ingin kehilangan sosoknya.

Aku pun bangkit dari dudukku, pergi meninggalkannya. Namun saat aku sudah berpijak beberapa langkah, aku buru-buru kembali lagi. Kutepuk bahunya beberapa kali dengan kedua tanganku, lalu segera pergi lagi.

Entahlah, aku tak peduli dia menganggapku aneh atau apa. Yang terpenting aku sudah merasa sedikit tenang.

Namun seperti yang aku katakan di awal, aku masih dihantui oleh mimpi itu.

Mimpi yang menyakitkanku.

No comments:

Post a Comment