"Itu dia,"
"Mana?"
"Itu..."
"Mana sih?"
"Itu dia, itu."
"Oh iya..."
Kali ini kau tak berjaket.Lengan bajumu tetap tergulung hingga siku. Kau berjalan di sisi sana, tertutupi oleh temanmu; selalu.
Kesegaran itu selalu terasa setiap mataku merekammu. Mengabadikan setiap pergerakanmu, mulai dari gaya berjalan sampai gaya berbicara.
Aku mendorong tubuhku untuk mendekat. Memperkecil jarak agar kau semakin jelas.
Awalnya aku menyangka kau tak akan melihatku, seperti biasanya, namun saat aku tak sedikitpun memalingkan pandanganku darimu, kau menyadariku. Mengenali sosokku, mengetahui aku ada di situ.
Kau menyunggingkan senyummu yang lebih sebentar daripada singkat. Senyum lebar khas dirimu, yang jarang kau berikan dengan ikhlas padaku. Namun kali ini senyummu terasa lebih manis, jauh lebih manis dari yang lalu-lalu. Relakah kau memberi senyum itu?
Setelahnya kau berjalan menjauh. Seperti biasa kedua mataku tetap mengikutimu, mengawasimu melangkah sampai kau menghilang di ujung sana.
Aku tersenyum. Senyum yang aku coba kendalikan agar tak terlalu liar. Senyum yang kurasakan untuk kedua kalinya selama aku hidup, namun ini jauh lebih menyenangkan.
... Senyum yang disebabkan olehmu.
Untukmu, laki-laki kejam yang tak lagi tersenyum ikhlas padaku,
seandainya kau membaca ini, aku ingin mengucapkan terima kasih atas senyummu tadi. Kau tahu, bagiku senyummu itu seperti suplemen; menyalurkan energi padaku untuk menjalani hari.
Sekali lagi, terima kasih. ^^
Kamis, 27 Februari 2014.
Ditulis selama beberapa hari.
Dan sampai sekarang sosoknya di hari itu masih melekat kuat di memoriku.
No comments:
Post a Comment