Seorang perempuan
terlihat sedang berjalan di antara kerumunan orang yang baru saja keluar dari
sebuah gedung perkuliahan. Setelan pakaian olahraga terpasang di tubuhnya: kaos
putih berlengan pendek, celana olahraga sekolah biru berlaris oranye, dan sepatu olahraga abu-abu.
Dia berjalan agak cepat, berbelok-belok untuk menghindari tabrakan dengan tubuh
lain. Matanya tertuju pada sesosok laki-laki berjas hitam yang berada sekitar
dua meter di depannya.
‘Tampan
sekali...’ Perempuan itu membatin saat dia mengunci pandangannya. Memiliki
potongan rambut yang segar, memakai setelan berupa kemeja biru dan jas serta
celana hitam, memikul ransel hanya dengan sebelah talinya, dan berjalan dengan
satu tangan berada dalam saku celananya. Ya, bahkan dari belakang pun laki-laki
itu tetap memesona.
Sembari menikmati
sosoknya, perempuan itu melangkah lebih cepat, namun tetap menjaga diri agar
tak terlihat oleh si laki-laki. Laki-laki itu telah melewati gerbang dan
berjalan ke arah parkiran. Si perempuan melangkah lebih dekat, lalu bersembunyi
di belakang pohon saat si laki-laki menoleh ke belakang. Setelah beberapa saat
bersembunyi, akhirnya perempuan itu memutuskan untuk menunjukkan dirinya. Dia
berjalan mendekati si laki-laki yang kini sedang berdiri di samping motornya. Cengiran
terpampang di wajah si perempuan saat si laki-laki melihat kemunculannya. Dia
sengaja menatap laki-laki itu dengan terang-terangan. Laki-laki itu menoleh ke
arah lain, mencari sang tukang parkir. Kemudian perempuan itu duduk di motor
yang berada di sebelah motor si laki-laki dengan tatapan dan cengiran yang
tetap lekat. Si Laki-laki kembali menoleh ke perempuan itu; wajahnya terlihat
heran bercampur risih. Si perempuan semakin melebarkan cengirannya,
kelihatannya dia tak berniat untuk berkata apapun.
“Temanmu...” Tanpa disangka-sangka oleh si
perempuan, laki-laki itu berbicara lebih dulu. Dia memasang satu tali ranselnya
yang belum terpasang. “Dia memohon padaku.”
Si perempuan
menghilangkan cengirannya. Lalu dia teringat akan temannya. “Memohon apa?”
“’Tidak bisakah
kau menghubunginya? Bahkan untuk sekali saja?’ Dia mengatakannya
berulang-ulang.” Laki-laki itu mengulang apa yang dikatakan oleh temannya.
“Lalu kujawab, ‘apa gunanya untukku?’”
Perempuan itu
merasakan seperti ada batu yang tiba-tiba terlempar ke lambungnya entah dari
mana. Lalu dia segera mengesampingkan rasa sakitnya dan berkata, “Aku tidak
pernah memintanya untuk melakukan itu, sungguh.”
“Dia bilang
begitu.”
“Aku tidak
menyuruhnya.” Si perempuan bergerak dari duduknya. Dia merasakan degup
jantungnya bertambah cepat. “Ya, aku memang bilang padanya bahwa kau tidak pernah
menghubungiku lagi, tapi sungguh, aku tidak pernah memintanya untuk memohon
padamu agar kau menghubungiku.”
Tidak ada respon
dari si laki-laki; pandangannya kembali ke arah tukang parkir yang masih sibuk
mengurus mobil-mobil.
“Kau percaya,
kan? Kau percaya aku tidak memintanya, kan?” Perempuan itu mendekatkan
pandangannya ke laki-laki itu.
Laki-laki itu pun
kembali menoleh padanya. “Entahlah...”
Jantung si
perempuan semakin cepat berdegup. Malu, kesal, sedih, semua beradu dalam
batinnya. Malu karena pasti si laki-laki menganggapnya tidak tahu malu atau
semacamnya, kesal karena sikap si laki-laki yang menurutnya kejam, sedih karena
laki-laki itu sama sekali tak peduli akan sikap kejamnya. Namun di luar semua
itu, pandangannya tak kunjung lepas dari si laki-laki. Dia menikmati setiap
inci bentuk dari makhluk ciptaan Tuhan yang sedang berdiri di dekatnya itu,
meneliti setiap permukaan wajahnya, dan menyaksikan setiap gerak-geriknya,
seolah dia tak pernah melihat manusia yang seperti itu sebelumnya. Indah, namun
hanya bisa dipandang. Seperti itu lah laki-laki itu baginya. Sekeras apapun dia
berpikir, dia tak pernah berhasil mendapatkan cara untuk menggapainya.
Laki-laki itu berada sangat dekat dengan posisinya duduk sekarang, namun dia
merasa laki-laki itu terlalu jauh untuk disentuh.
Si laki-laki
masih menunggu kedatangan si tukang parkir. Dia berdiri membelakangi si
perempuan, memain-mainkan kunci motor yang sedang dipegangnya. Tiba-tiba
perempuan itu menarik siku jasnya, dan dengan wajah yang dibuat-buat agar
terlihat senang, perempuan itu berkata, “Aku mengirim pesan padamu, menanyakan
apakah ada file atau kaset film baru, namun kau tidak merespon.”
Laki-laki itu
terlihat terkejut saat si perempuan menarik siku jasnya; kekesalan tersirat
untuk sekilas di kedua matanya. “Ada,” jawabnya tanpa memandang si perempan.
“Ada beberapa film.”
“Jadi kenapa kau
tidak membalasnya?”
Perempuan itu
menunggu, namun tidak ada jawaban dari si laki-laki.
“Kau kan bisa
bilang ‘tidak ada’ atau apa lah, jangan tidak merespon. Sakit, kau tahu.”
Perempuan itu
merasa tetap tidak ada tanda-tanda bahwa si laki-laki akan menjawab. Namun
beberapa saat kemudian laki-laki itu tiba-tiba tertawa. Bukan tawa yang lebar
dan panjang, sebenarnya.
“Kenapa tertawa?”
tanya si perempuan.
“Lucu saja,”
jawab si laki-laki.
Seolah ada biji
salak yang tersangkut di tenggorokannya, perempuan itu tidak sanggup lagi untuk
berkata-kata. Dia telah kehabisan persediaan kosa kata untuk diucapkan pada si
laki-laki. Mendengar jawaban laki-laki itu lambungnya seolah terasa semakin
sakit, bahkan rasa sakitnya terjalar ke bagian hati. ‘Lucu saja’, katanya?
Perempuan itu selalu bisa dikejutkan oleh si laki-laki; dia tak pernah bisa
menebak jalan pikirannya. Laki-laki itu menganggap lucu rasa sakit yang dia
alami, bahkan secara terang-terangan mengatakannya.
Perempuan itu sadar,
bahkan sangat sadar, bahwa dia bukanlah siapa-siapa bagi laki-laki itu.
Jangankan untuk marah karena kekejamannya, untuk dapat berbicara dengannya
seperti sekarang saja sudah menjadi suatu hal yang sangat sulit baginya.
Laki-laki itu bukanlah laki-laki yang dia kenal dulu. Hangat yang pernah diberi
oleh si laki-laki tidak lagi pernah dapat dia rasakan. Laki-laki itu telah
keluar dari jalan hidupnya; memutuskan untuk tidak lagi berada dalam satu jalur
dengannya. Dan karena tidak pernah ada ikatan untuk menahannya, perempuan itu
harus rela melihat laki-laki itu memudar dari pandangannya. Namun, sudah
sepudar apapun sosoknya untuk bisa dilihat oleh matanya, laki-laki itu tetap
terpatri jelas dalam pikiran dan hatinya. Semua tentangnya yang pernah dia
dapat, masih lekat dalam ingatannya. Perempuan itu tidak pernah mau memaksakan
diri untuk melupakannya, karena dia tahu bahwa semakin keras dia mencoba untuk
melupa, semakin dalam lah ingatan yang tercipta tentangnya. Jadi perempuan itu
memutuskan untuk kembali melanjutkan jalannya seorang diri, dengan bekal rasa
cintanya yang belum berkurang sama sekali—walaupun dia telah menelannya
berkali-kali.
Dan untuk
kesekian kalinya, dia terluka oleh dan karena laki-laki itu.
Laki-laki yang
dia cintai, namun hanya bisa memberikan perih.
Laki-laki yang pernah menyebutnya ‘bidadari surga’, namun kini memberinya sebuah neraka.
Laki-laki yang telah mengambil hatinya, namun tak pernah mengembalikannya.
▬
Laki-laki yang pernah menyebutnya ‘bidadari surga’, namun kini memberinya sebuah neraka.
Laki-laki yang telah mengambil hatinya, namun tak pernah mengembalikannya.
▬
No comments:
Post a Comment