Thursday, 6 August 2015

Lucu Saja



Seorang perempuan terlihat sedang berjalan di antara kerumunan orang yang baru saja keluar dari sebuah gedung perkuliahan. Setelan pakaian olahraga terpasang di tubuhnya: kaos putih berlengan pendek, celana olahraga sekolah biru  berlaris oranye, dan sepatu olahraga abu-abu. Dia berjalan agak cepat, berbelok-belok untuk menghindari tabrakan dengan tubuh lain. Matanya tertuju pada sesosok laki-laki berjas hitam yang berada sekitar dua meter di depannya.

‘Tampan sekali...’ Perempuan itu membatin saat dia mengunci pandangannya. Memiliki potongan rambut yang segar, memakai setelan berupa kemeja biru dan jas serta celana hitam, memikul ransel hanya dengan sebelah talinya, dan berjalan dengan satu tangan berada dalam saku celananya. Ya, bahkan dari belakang pun laki-laki itu tetap memesona.

Sembari menikmati sosoknya, perempuan itu melangkah lebih cepat, namun tetap menjaga diri agar tak terlihat oleh si laki-laki. Laki-laki itu telah melewati gerbang dan berjalan ke arah parkiran. Si perempuan melangkah lebih dekat, lalu bersembunyi di belakang pohon saat si laki-laki menoleh ke belakang. Setelah beberapa saat bersembunyi, akhirnya perempuan itu memutuskan untuk menunjukkan dirinya. Dia berjalan mendekati si laki-laki yang kini sedang berdiri di samping motornya. Cengiran terpampang di wajah si perempuan saat si laki-laki melihat kemunculannya. Dia sengaja menatap laki-laki itu dengan terang-terangan. Laki-laki itu menoleh ke arah lain, mencari sang tukang parkir. Kemudian perempuan itu duduk di motor yang berada di sebelah motor si laki-laki dengan tatapan dan cengiran yang tetap lekat. Si Laki-laki kembali menoleh ke perempuan itu; wajahnya terlihat heran bercampur risih. Si perempuan semakin melebarkan cengirannya, kelihatannya dia tak berniat untuk berkata apapun.


 “Temanmu...” Tanpa disangka-sangka oleh si perempuan, laki-laki itu berbicara lebih dulu. Dia memasang satu tali ranselnya yang belum terpasang. “Dia memohon padaku.”

Si perempuan menghilangkan cengirannya. Lalu dia teringat akan temannya. “Memohon apa?”

“’Tidak bisakah kau menghubunginya? Bahkan untuk sekali saja?’ Dia mengatakannya berulang-ulang.” Laki-laki itu mengulang apa yang dikatakan oleh temannya. “Lalu kujawab, ‘apa gunanya untukku?’”

Perempuan itu merasakan seperti ada batu yang tiba-tiba terlempar ke lambungnya entah dari mana. Lalu dia segera mengesampingkan rasa sakitnya dan berkata, “Aku tidak pernah memintanya untuk melakukan itu, sungguh.”

“Dia bilang begitu.”

“Aku tidak menyuruhnya.” Si perempuan bergerak dari duduknya. Dia merasakan degup jantungnya bertambah cepat. “Ya, aku memang bilang padanya bahwa kau tidak pernah menghubungiku lagi, tapi sungguh, aku tidak pernah memintanya untuk memohon padamu agar kau menghubungiku.”
Tidak ada respon dari si laki-laki; pandangannya kembali ke arah tukang parkir yang masih sibuk mengurus mobil-mobil.

“Kau percaya, kan? Kau percaya aku tidak memintanya, kan?” Perempuan itu mendekatkan pandangannya ke laki-laki itu.

Laki-laki itu pun kembali menoleh padanya. “Entahlah...”

Jantung si perempuan semakin cepat berdegup. Malu, kesal, sedih, semua beradu dalam batinnya. Malu karena pasti si laki-laki menganggapnya tidak tahu malu atau semacamnya, kesal karena sikap si laki-laki yang menurutnya kejam, sedih karena laki-laki itu sama sekali tak peduli akan sikap kejamnya. Namun di luar semua itu, pandangannya tak kunjung lepas dari si laki-laki. Dia menikmati setiap inci bentuk dari makhluk ciptaan Tuhan yang sedang berdiri di dekatnya itu, meneliti setiap permukaan wajahnya, dan menyaksikan setiap gerak-geriknya, seolah dia tak pernah melihat manusia yang seperti itu sebelumnya. Indah, namun hanya bisa dipandang. Seperti itu lah laki-laki itu baginya. Sekeras apapun dia berpikir, dia tak pernah berhasil mendapatkan cara untuk menggapainya. Laki-laki itu berada sangat dekat dengan posisinya duduk sekarang, namun dia merasa laki-laki itu terlalu jauh untuk disentuh.

Si laki-laki masih menunggu kedatangan si tukang parkir. Dia berdiri membelakangi si perempuan, memain-mainkan kunci motor yang sedang dipegangnya. Tiba-tiba perempuan itu menarik siku jasnya, dan dengan wajah yang dibuat-buat agar terlihat senang, perempuan itu berkata, “Aku mengirim pesan padamu, menanyakan apakah ada file atau kaset film baru, namun kau tidak merespon.”

Laki-laki itu terlihat terkejut saat si perempuan menarik siku jasnya; kekesalan tersirat untuk sekilas di kedua matanya. “Ada,” jawabnya tanpa memandang si perempan. “Ada beberapa film.”
“Jadi kenapa kau tidak membalasnya?”

Perempuan itu menunggu, namun tidak ada jawaban dari si laki-laki.

“Kau kan bisa bilang ‘tidak ada’ atau apa lah, jangan tidak merespon. Sakit, kau tahu.”

Perempuan itu merasa tetap tidak ada tanda-tanda bahwa si laki-laki akan menjawab. Namun beberapa saat kemudian laki-laki itu tiba-tiba tertawa. Bukan tawa yang lebar dan panjang, sebenarnya.

“Kenapa tertawa?” tanya si perempuan.

“Lucu saja,” jawab si laki-laki.

Seolah ada biji salak yang tersangkut di tenggorokannya, perempuan itu tidak sanggup lagi untuk berkata-kata. Dia telah kehabisan persediaan kosa kata untuk diucapkan pada si laki-laki. Mendengar jawaban laki-laki itu lambungnya seolah terasa semakin sakit, bahkan rasa sakitnya terjalar ke bagian hati. ‘Lucu saja’, katanya? Perempuan itu selalu bisa dikejutkan oleh si laki-laki; dia tak pernah bisa menebak jalan pikirannya. Laki-laki itu menganggap lucu rasa sakit yang dia alami, bahkan secara terang-terangan mengatakannya.

Perempuan itu sadar, bahkan sangat sadar, bahwa dia bukanlah siapa-siapa bagi laki-laki itu. Jangankan untuk marah karena kekejamannya, untuk dapat berbicara dengannya seperti sekarang saja sudah menjadi suatu hal yang sangat sulit baginya. Laki-laki itu bukanlah laki-laki yang dia kenal dulu. Hangat yang pernah diberi oleh si laki-laki tidak lagi pernah dapat dia rasakan. Laki-laki itu telah keluar dari jalan hidupnya; memutuskan untuk tidak lagi berada dalam satu jalur dengannya. Dan karena tidak pernah ada ikatan untuk menahannya, perempuan itu harus rela melihat laki-laki itu memudar dari pandangannya. Namun, sudah sepudar apapun sosoknya untuk bisa dilihat oleh matanya, laki-laki itu tetap terpatri jelas dalam pikiran dan hatinya. Semua tentangnya yang pernah dia dapat, masih lekat dalam ingatannya. Perempuan itu tidak pernah mau memaksakan diri untuk melupakannya, karena dia tahu bahwa semakin keras dia mencoba untuk melupa, semakin dalam lah ingatan yang tercipta tentangnya. Jadi perempuan itu memutuskan untuk kembali melanjutkan jalannya seorang diri, dengan bekal rasa cintanya yang belum berkurang sama sekali—walaupun dia telah menelannya berkali-kali.

Dan untuk kesekian kalinya, dia terluka oleh dan karena laki-laki itu.

Laki-laki yang dia cintai, namun hanya bisa memberikan perih.
Laki-laki yang pernah menyebutnya ‘bidadari surga’, namun kini memberinya sebuah neraka.
Laki-laki yang telah mengambil hatinya, namun tak pernah mengembalikannya.


No comments:

Post a Comment