Malam itu, pukul
8.30 di hari Minggu, seseorang merampas tas—yang kukenakan menyilang dari bahu
kiri sampai pinggang kananku—secara cepat dari arah kanan belakang. Seseorang
itu berada di atas sepeda motor yang dikemudikan oleh temannya. Dengan tangan kirinya
dia menarik tali tasku dari punggungku. Sedetik kemudian aku tersungkur ke atas
aspal dan terseret karena tangan kananku masih menahan tali tas. Karena takut
akan kendaraan lain yang bisa saja menggilasku, aku melepaskan genggaman
tanganku di tali tas itu. Lalu, dalam hitungan detik juga, kedua pria itu
menghilang di antara gelapnya bayangan pohon dan kilauan cahaya lampu
kendaraan.
Saat sepeda motor
itu mendekatiku, saat suara mesinnya terdengar di telingaku, dan saat tiba-tiba
merasakan angin berhembus dengan kencang dari arah kananku, sebenarnya aku
sudah merasa bahwa aku akan dirampok lagi, karena itu aku mencoba sebisa
mungkin untuk menahan tasku. Namun karena aku terkejut, kekuatanku tidak cukup
besar untuk menahan tarikan laki-laki itu—lagipula dia dibantu oleh kekuatan
sepeda motor. Jadi, aku terjatuh ke jalan dengan mudahnya.
Setelah itu aku
mendengar Pani berteriak. Aku pun bangkit, mengambil kacamata yang terlepas
dari wajahku, lalu memeriksa lengan kiriku yang kurasa telah berkontak langsung
dengan aspal. Ah, aku melihat gelembung darah merah pekat yang seolah akan
pecah saat itu juga. Pani masih berteriak; lengkingan suaranya terasa sangat
pilu. Lalu, seolah telah ditabrak sesuatu, kakiku kehilangan kekuatan untuk
berdiri. Dengan refleks, Pani dan Febri segera menangkap kedua tanganku. Kemudian aku melihat beberapa orang datang...
...Dan kemudian,
aku berada di ruang tamu rumahku.
Mama sedang tidur
di sampingku. Lalu tiba-tiba rasa sakit menjalar di seluruh tubuhku. Aku
meringis. “Kenapa, Kak...?” Mungkin Mama terbangun. “Mau pipis?”
Aku menghentikan
ringisanku, mencoba menela’ah apa yang sedang terjadi. Ruang tamuku terasa
senyap; mungkin ini masih subuh. Sarung terpasang menutupi kakiku. Lengan
kiriku terasa perih. “Iya, mau pipis?” Mama kembali bertanya.
Aku melihat wajah
Mama sesaat, kemudian memejamkan mata.
Saat bangun,
seorang nenek tukang pijat sudah siap untuk melakukan tugasnya terhadapku.
Jujur saja, aku tidak suka dipijat oleh seorang tukang pijat, karena mereka
pasti menggunakan kekuatan supernya yang terasa menyakitkan di setiap inci
kulitku. Namun Mama tetap bersikeras untuk membuatku dipijat walaupun aku
berkali-kali mengatakan tidak mau. “Kalok nggak dikusuk nantik kakak nggak bisa
gerak,” kata Mama dan temannya dan juga si Nenek tukang pijat.
Setelah selesai
menerima pijatan, Mama dan yang lainnya menyuruhku untuk menggerakkan badan
sebisa mungkin; duduk, berdiri, dan berjalan. Dengan takut dan ragu aku
mencobanya. Aku merasakan kakiku bergetar saat berusaha berdiri, namun gemetarnya
berangsur menghilang, dan akhirnya aku bisa berdiri dan berjalan seperti
biasa—walaupun tubuhku masih terasa lemas.
Di sore hari, aku
kembali terbangun saat suara Mama masuk ke kepalaku. “Kak, ini orang si Tuti
datang.” Aku duduk dan melihat ke arah pintu; sosok Opi berdiri di sana, sedang
melihat ke arahku. Aku tersenyum. Lalu aku mencari kacamataku dan memakainya.
Sesaat kemudian, Tuti, Opi, Bela dan Dyah telah berada di dalam dan mulai duduk
mengelilingiku. Mereka membawakanku sekantung plastik putih bercap “Aroma” yang
berisi sekotak bolu pisang. Lalu mereka mulai menghujaniku dengan pertanyaan
yang sudah kutebak: bagaimana kejadian yang menimpaku semalam.
‘Wah, ternyata
mereka mau datang juga.’ Batinku senang. Aku jadi tidak sabar melihat mereka.
Dan benar, tak
lama kemudian aku melihat lewat jendela, sosok adikku lewat, diikuti oleh
beberapa sosok berseragam putih lainnya. Febri dan Rizki. Hatiku agak mencelos
saat kukira hanya mereka yang datang. Namun setelahnya beberapa orang lagi
muncul. Tiwi, Nisa, Amal, Yogi, dan Dodi. Dua nama terakhir ini membuatku agak
kaget karena aku tak menyangka mereka berdua juga akan datang. Mereka semua
langsung memenuhi ruangan dengan tubuh, tas besar, dan suara riuh mereka;
membuat teman-temanku menyingkir ke sebelah kiriku. Sekantung plastik putih
kembali mendarat di atas tikar, namun plastik yang ini tidak bercap. “Iiihh...
Baek kaliii... Apa itu?” Mereka pun memperlihatkan isinya yang tidak sepenuhnya
kuperhatikan.
Beberapa lama
kemudian, teman-temanku memutuskan untuk pulang dengan alibi “Kan udah ada
orang ini, rumah kami jaoh...” Setelah mereka pergi, geng sekolahku pun
berpindah duduk mengelilingku.
Geng sekolahku
juga menghujaniku dengan pertanyaan yang sama, yang dengan berat jantung
kembali kujawab dengan panjang, tapi tidak ada yang benar-benar mendengarkan
karena sibuk dengan kegiatannya masing-masing: makan, membongkar camilan,
bergulat, menyaksikan yang sedang bergulat, mengotak-atik hape, dan bengong.
Sakitnya melebihi sakit di tubuhku. Kemudian mereka menceritakan tentang
bagaimana berita tentangku tersebar.
Pukul 6, Tiwi,
Febri, Rizki dan Dodi pamit pulang, mengikuti jejak Yogi dan Nisa yang sudah
pulang lebih dulu di jam 5. Sebenarnya aku ingin mereka di rumahku lebih lama
lagi, namun aku harus rela melepas mereka saat Dodi mengatakan “Kalok sepi kan
garing...”.
Selepas kepergian
mereka, Mama dan Pani pergi ke kamar di lantai atas, meninggalkanku yang memang
masih ingin di ruang tamu. Aku bermaksud menunggu orang-orang yang geng
sekolahku bilang akan datang setelah maghrib. Aku teringat akan gelengan adikku
saat aku bertanya menurutnya apakah dia akan datang atau tidak. Aku mulai
pesimis.
Saat hampir
maghrib, pengunjung kloter ke 3 tiba. Dini, Sinta dan Indah. Aku segera bangkit
dari lamunanku dan menggelar kembali tikar yang tadi sudah digulung. Kantung
plastik ketiga—kali ini bercap Majestyk—juga segera mendarat di atas tikar.
“Seharusnya kelen datang semalam pas aku lagi nggak sadar...” kataku saat
kulihat ekpsresi mereka yang terlihat agak kecewa karena melihatku yang tidak
terlihat sakit sama sekali. Dan mereka menyangkalku.
Tak berapa lama
setelah isya mereka pulang, meninggalkanku yang kembali duduk melamun,
menantikan kedatangan orang yang dinantikan. Aku tetap menunggu, menyemangati
diri yang sudah pesimis.
Sudah hampir
pukul 9 malam saat aku mendongak melihat jam dinding. Asaku terasa sudah di
penghabisan. Aku mencoba untuk tidur dalam posisi duduk sembari membayangkan
wajah-wajah mereka yang telah datang menjengukku. Rasa bahagia mulai menjalariku
dan mungkin saja bisa membuatku tersenyum jika aku tidak menahannya. Aku sudah
hampir tertidur saat tiba-tiba kudengar kembali suara beberapa sepeda motor
lewat di depan rumahku. Aku tidak menggubrisnya karena kupikir tidak akan ada
lagi yang akan mengunjungiku. Namun Buk Pipi berkata, “Datang lagi Din.”
Seketika aku menoleh ke arah jendela, dan benar saja, kulihat sosok Moya yang
masih berdiri di luar teras. Dan Yogi. Lalu saat mereka mulai mendekati pintu,
aku buru-buru menyandarkan kepalaku ke dinding—berpura-pura tidak menyadari
kedatangan mereka. “Ih jijik kali awak nengok gayanya,” Teriakan Moya mengaung
di dalam ruangan. Mereka berdua masuk, membuatku berpikir bahwa hanya mereka
lah yang datang terakhir. Aku pun berdiri untuk memanggil Mama. Tepat setelah
aku berjalan beberapa langkah, seseorang muncul di depan pintu yang membawa
sekantung plastik putih; bersiap untuk melangkahkan kakinya ke dalam. Matanya
tidak memandangku, namun aku tetap merasa ada semangat yang dialirkannya
padaku. Segera kupercepat niatku untuk memanggil Mama. Rasanya tubuhku ringan
sekali, saking ringannya aku seolah dapat melayang ke lantai 2 tempat Mama
berada. Bahagiaku menutupi rasa tidak percayaku.
Dia benar-benar
datang.
Aku segera
kembali ke ruang tamu. Lupi meletakkan plastik yang dibawanya. “Apa itu...?”
tanyaku. “Jeruk, Senpai... Dari kami. Tapi sebenarnya Lupi yang belik, kami
cumak numpang aja,” jelas Moya.
Tidak seperti
tamu-tamuku sebelumnya yang duduk mengelilingiku menghadap dinding, mereka
bertiga duduk bersampingan menyandari dinding; aku duduk di depan mereka. Aku
dan Pani meledek mereka dengan mengatakan mereka sedang flashback. Ah, betapa rindunya aku akan pertemanan mereka bertiga.
Lupi tidak banyak berbicara—padaku, lebih tepatnya. Seharusnya, kan, aku yang
sedang sakit ini harus diajak bicara agar semangatku pulih sepenuhnya.
Hehehe... Ya, walaupun begitu, melihat mereka saja aku sudah penuh semangat,
kok.
Pukul 10 lewat,
trio ini pulang. “Buk Evelyn udah nyariin ini,” kata Yogi saat aku merengek
mengatakan “cepat kali...”.
Setelah mereka
hilang dari pandangan, aku naik ke kamarku. Rasa penuh semangat masih memanas
di tubuhku yang masih perih. Ternyata seperti ini rasanya dijenguk. Melihat
orang-orang yang datang ke rumah khusus untuk melihat keadaanku, diberi
makanan, mendengarkan cerita yang kulewatkan... Aku senang sekali, tidak,
bahkan aku senang berkali-kali. Ternyata mereka senang terhadapku;
menyayangiku.
Tidak ada
perkataan lain yang lebih tepat untuk menggambarkan rasa senangku selain ‘terima
kasih’.
Aku berterima
kasih pada Tuti, Bela, Opi dan Dyah yang masih mau menyempatkan datang ke
rumahku walaupun rumah mereka jauh.
Aku berterima
kasih pada Febri, Rizki, Tiwi, Amal dan Nisa yang ternyata memang sayang sama
senpai mereka ini. Dan pada Dodi, yang kata Pani memang ingin menjengukku tanpa
ada kalimat ajakan yang keluar terhadapnya. “Yok lah, kita jenguk... Nanti
tungguin aku ya.” Kira-kira seperti itu lah kalimat Dodi setelah Pani
memberitahunya tentang keadaanku.
Aku berterima
kasih pada Dini, Sinta dan Indah, yang kupikir tidak akan datang.
Terakhir, aku
berterima kasih pada Moya, yang mau menguatkan diri untuk datang menjengukku
walaupun dia juga baru saja tertimpa musibah—tergelincir masuk ke dalam paret.
Pada Yogi, yang rela dua kali datang untuk menebarkan senyum manisnya yang
sangat kusukai. Dan pada Lupi, yang sampai saat ini masih tidak kupercaya bahwa
dia telah datang untuk menjengukku.
Walau wajahnya terlihat terpaksa, walau sepertinya dia datang karena dipaksa
(dia menyangkal hal ini), dan walau dia terlihat tidak ingin bicara padaku
namun terpaksa meladeniku, bagiku dia tetap menjadi penutup yang sempurna.
Karena mereka,
trauma yang kualami jadi tidak terasa begitu menyakitkan—padahal ini adalah
yang kedua kalinya. Walaupun tidak ada sakit di fisik saat yang pertama kali,
batinku lebih terasa sakit saat itu dibandingkan yang ini. Mungkin itulah
mengapa di dunia ini ada kebiasaan menjenguk orang yang sedang sakit: untuk
mencoba memberikan kesembuhan secara tidak langsung.
“Biar balik
semangatnya,” kata Mama saat aku bertanya-tanya mengapa Mama dan Pani
menyebarkan berita tentangku dan menyuruh teman-temanku datang.
Ahamdulillah, aku
sudah sembuh. Batinku juga sudah sembuh. Aku hanya tinggal menunggu bekas luka
di lenganku kering dan lebam-lebam di tubuhku hilang.
Well...
Terima kasih.
▬
▬
No comments:
Post a Comment