Thursday, 17 September 2015

Thank You for Visiting


Malam itu, pukul 8.30 di hari Minggu, seseorang merampas tas—yang kukenakan menyilang dari bahu kiri sampai pinggang kananku—secara cepat dari arah kanan belakang. Seseorang itu berada di atas sepeda motor yang dikemudikan oleh temannya. Dengan tangan kirinya dia menarik tali tasku dari punggungku. Sedetik kemudian aku tersungkur ke atas aspal dan terseret karena tangan kananku masih menahan tali tas. Karena takut akan kendaraan lain yang bisa saja menggilasku, aku melepaskan genggaman tanganku di tali tas itu. Lalu, dalam hitungan detik juga, kedua pria itu menghilang di antara gelapnya bayangan pohon dan kilauan cahaya lampu kendaraan.

Saat sepeda motor itu mendekatiku, saat suara mesinnya terdengar di telingaku, dan saat tiba-tiba merasakan angin berhembus dengan kencang dari arah kananku, sebenarnya aku sudah merasa bahwa aku akan dirampok lagi, karena itu aku mencoba sebisa mungkin untuk menahan tasku. Namun karena aku terkejut, kekuatanku tidak cukup besar untuk menahan tarikan laki-laki itu—lagipula dia dibantu oleh kekuatan sepeda motor. Jadi, aku terjatuh ke jalan dengan mudahnya.


Setelah itu aku mendengar Pani berteriak. Aku pun bangkit, mengambil kacamata yang terlepas dari wajahku, lalu memeriksa lengan kiriku yang kurasa telah berkontak langsung dengan aspal. Ah, aku melihat gelembung darah merah pekat yang seolah akan pecah saat itu juga. Pani masih berteriak; lengkingan suaranya terasa sangat pilu. Lalu, seolah telah ditabrak sesuatu, kakiku kehilangan kekuatan untuk berdiri. Dengan refleks, Pani dan Febri segera menangkap kedua tanganku. Kemudian aku melihat beberapa orang datang...

...Dan kemudian, aku berada di ruang tamu rumahku.

Mama sedang tidur di sampingku. Lalu tiba-tiba rasa sakit menjalar di seluruh tubuhku. Aku meringis. “Kenapa, Kak...?” Mungkin Mama terbangun. “Mau pipis?”

Aku menghentikan ringisanku, mencoba menela’ah apa yang sedang terjadi. Ruang tamuku terasa senyap; mungkin ini masih subuh. Sarung terpasang menutupi kakiku. Lengan kiriku terasa perih. “Iya, mau pipis?” Mama kembali bertanya.

Aku melihat wajah Mama sesaat, kemudian memejamkan mata.

Saat bangun, seorang nenek tukang pijat sudah siap untuk melakukan tugasnya terhadapku. Jujur saja, aku tidak suka dipijat oleh seorang tukang pijat, karena mereka pasti menggunakan kekuatan supernya yang terasa menyakitkan di setiap inci kulitku. Namun Mama tetap bersikeras untuk membuatku dipijat walaupun aku berkali-kali mengatakan tidak mau. “Kalok nggak dikusuk nantik kakak nggak bisa gerak,” kata Mama dan temannya dan juga si Nenek tukang pijat.

Setelah selesai menerima pijatan, Mama dan yang lainnya menyuruhku untuk menggerakkan badan sebisa mungkin; duduk, berdiri, dan berjalan. Dengan takut dan ragu aku mencobanya. Aku merasakan kakiku bergetar saat berusaha berdiri, namun gemetarnya berangsur menghilang, dan akhirnya aku bisa berdiri dan berjalan seperti biasa—walaupun tubuhku masih terasa lemas.

Di sore hari, aku kembali terbangun saat suara Mama masuk ke kepalaku. “Kak, ini orang si Tuti datang.” Aku duduk dan melihat ke arah pintu; sosok Opi berdiri di sana, sedang melihat ke arahku. Aku tersenyum. Lalu aku mencari kacamataku dan memakainya. Sesaat kemudian, Tuti, Opi, Bela dan Dyah telah berada di dalam dan mulai duduk mengelilingiku. Mereka membawakanku sekantung plastik putih bercap “Aroma” yang berisi sekotak bolu pisang. Lalu mereka mulai menghujaniku dengan pertanyaan yang sudah kutebak: bagaimana kejadian yang menimpaku semalam.

‘Wah, ternyata mereka mau datang juga.’ Batinku senang. Aku jadi tidak sabar melihat mereka.

Dan benar, tak lama kemudian aku melihat lewat jendela, sosok adikku lewat, diikuti oleh beberapa sosok berseragam putih lainnya. Febri dan Rizki. Hatiku agak mencelos saat kukira hanya mereka yang datang. Namun setelahnya beberapa orang lagi muncul. Tiwi, Nisa, Amal, Yogi, dan Dodi. Dua nama terakhir ini membuatku agak kaget karena aku tak menyangka mereka berdua juga akan datang. Mereka semua langsung memenuhi ruangan dengan tubuh, tas besar, dan suara riuh mereka; membuat teman-temanku menyingkir ke sebelah kiriku. Sekantung plastik putih kembali mendarat di atas tikar, namun plastik yang ini tidak bercap. “Iiihh... Baek kaliii... Apa itu?” Mereka pun memperlihatkan isinya yang tidak sepenuhnya kuperhatikan.

Beberapa lama kemudian, teman-temanku memutuskan untuk pulang dengan alibi “Kan udah ada orang ini, rumah kami jaoh...” Setelah mereka pergi, geng sekolahku pun berpindah duduk mengelilingku.

Geng sekolahku juga menghujaniku dengan pertanyaan yang sama, yang dengan berat jantung kembali kujawab dengan panjang, tapi tidak ada yang benar-benar mendengarkan karena sibuk dengan kegiatannya masing-masing: makan, membongkar camilan, bergulat, menyaksikan yang sedang bergulat, mengotak-atik hape, dan bengong. Sakitnya melebihi sakit di tubuhku. Kemudian mereka menceritakan tentang bagaimana berita tentangku tersebar.

Pukul 6, Tiwi, Febri, Rizki dan Dodi pamit pulang, mengikuti jejak Yogi dan Nisa yang sudah pulang lebih dulu di jam 5. Sebenarnya aku ingin mereka di rumahku lebih lama lagi, namun aku harus rela melepas mereka saat Dodi mengatakan “Kalok sepi kan garing...”.

Selepas kepergian mereka, Mama dan Pani pergi ke kamar di lantai atas, meninggalkanku yang memang masih ingin di ruang tamu. Aku bermaksud menunggu orang-orang yang geng sekolahku bilang akan datang setelah maghrib. Aku teringat akan gelengan adikku saat aku bertanya menurutnya apakah dia akan datang atau tidak. Aku mulai pesimis.

Saat hampir maghrib, pengunjung kloter ke 3 tiba. Dini, Sinta dan Indah. Aku segera bangkit dari lamunanku dan menggelar kembali tikar yang tadi sudah digulung. Kantung plastik ketiga—kali ini bercap Majestyk—juga segera mendarat di atas tikar. “Seharusnya kelen datang semalam pas aku lagi nggak sadar...” kataku saat kulihat ekpsresi mereka yang terlihat agak kecewa karena melihatku yang tidak terlihat sakit sama sekali. Dan mereka menyangkalku.

Tak berapa lama setelah isya mereka pulang, meninggalkanku yang kembali duduk melamun, menantikan kedatangan orang yang dinantikan. Aku tetap menunggu, menyemangati diri yang sudah pesimis.

Sudah hampir pukul 9 malam saat aku mendongak melihat jam dinding. Asaku terasa sudah di penghabisan. Aku mencoba untuk tidur dalam posisi duduk sembari membayangkan wajah-wajah mereka yang telah datang menjengukku. Rasa bahagia mulai menjalariku dan mungkin saja bisa membuatku tersenyum jika aku tidak menahannya. Aku sudah hampir tertidur saat tiba-tiba kudengar kembali suara beberapa sepeda motor lewat di depan rumahku. Aku tidak menggubrisnya karena kupikir tidak akan ada lagi yang akan mengunjungiku. Namun Buk Pipi berkata, “Datang lagi Din.” Seketika aku menoleh ke arah jendela, dan benar saja, kulihat sosok Moya yang masih berdiri di luar teras. Dan Yogi. Lalu saat mereka mulai mendekati pintu, aku buru-buru menyandarkan kepalaku ke dinding—berpura-pura tidak menyadari kedatangan mereka. “Ih jijik kali awak nengok gayanya,” Teriakan Moya mengaung di dalam ruangan. Mereka berdua masuk, membuatku berpikir bahwa hanya mereka lah yang datang terakhir. Aku pun berdiri untuk memanggil Mama. Tepat setelah aku berjalan beberapa langkah, seseorang muncul di depan pintu yang membawa sekantung plastik putih; bersiap untuk melangkahkan kakinya ke dalam. Matanya tidak memandangku, namun aku tetap merasa ada semangat yang dialirkannya padaku. Segera kupercepat niatku untuk memanggil Mama. Rasanya tubuhku ringan sekali, saking ringannya aku seolah dapat melayang ke lantai 2 tempat Mama berada. Bahagiaku menutupi rasa tidak percayaku.

Dia benar-benar datang.

Aku segera kembali ke ruang tamu. Lupi meletakkan plastik yang dibawanya. “Apa itu...?” tanyaku. “Jeruk, Senpai... Dari kami. Tapi sebenarnya Lupi yang belik, kami cumak numpang aja,” jelas Moya.

Tidak seperti tamu-tamuku sebelumnya yang duduk mengelilingiku menghadap dinding, mereka bertiga duduk bersampingan menyandari dinding; aku duduk di depan mereka. Aku dan Pani meledek mereka dengan mengatakan mereka sedang flashback. Ah, betapa rindunya aku akan pertemanan mereka bertiga. Lupi tidak banyak berbicara—padaku, lebih tepatnya. Seharusnya, kan, aku yang sedang sakit ini harus diajak bicara agar semangatku pulih sepenuhnya. Hehehe... Ya, walaupun begitu, melihat mereka saja aku sudah penuh semangat, kok.

Pukul 10 lewat, trio ini pulang. “Buk Evelyn udah nyariin ini,” kata Yogi saat aku merengek mengatakan “cepat kali...”.

Setelah mereka hilang dari pandangan, aku naik ke kamarku. Rasa penuh semangat masih memanas di tubuhku yang masih perih. Ternyata seperti ini rasanya dijenguk. Melihat orang-orang yang datang ke rumah khusus untuk melihat keadaanku, diberi makanan, mendengarkan cerita yang kulewatkan... Aku senang sekali, tidak, bahkan aku senang berkali-kali. Ternyata mereka senang terhadapku; menyayangiku.

Tidak ada perkataan lain yang lebih tepat untuk menggambarkan rasa senangku selain ‘terima kasih’.

Aku berterima kasih pada Tuti, Bela, Opi dan Dyah yang masih mau menyempatkan datang ke rumahku walaupun rumah mereka jauh.

Aku berterima kasih pada Febri, Rizki, Tiwi, Amal dan Nisa yang ternyata memang sayang sama senpai mereka ini. Dan pada Dodi, yang kata Pani memang ingin menjengukku tanpa ada kalimat ajakan yang keluar terhadapnya. “Yok lah, kita jenguk... Nanti tungguin aku ya.” Kira-kira seperti itu lah kalimat Dodi setelah Pani memberitahunya tentang keadaanku. 

Aku berterima kasih pada Dini, Sinta dan Indah, yang kupikir tidak akan datang.

Terakhir, aku berterima kasih pada Moya, yang mau menguatkan diri untuk datang menjengukku walaupun dia juga baru saja tertimpa musibah—tergelincir masuk ke dalam paret. Pada Yogi, yang rela dua kali datang untuk menebarkan senyum manisnya yang sangat kusukai. Dan pada Lupi, yang sampai saat ini masih tidak kupercaya bahwa dia telah datang  untuk menjengukku. Walau wajahnya terlihat terpaksa, walau sepertinya dia datang karena dipaksa (dia menyangkal hal ini), dan walau dia terlihat tidak ingin bicara padaku namun terpaksa meladeniku, bagiku dia tetap menjadi penutup yang sempurna.

Karena mereka, trauma yang kualami jadi tidak terasa begitu menyakitkan—padahal ini adalah yang kedua kalinya. Walaupun tidak ada sakit di fisik saat yang pertama kali, batinku lebih terasa sakit saat itu dibandingkan yang ini. Mungkin itulah mengapa di dunia ini ada kebiasaan menjenguk orang yang sedang sakit: untuk mencoba memberikan kesembuhan secara tidak langsung.

“Biar balik semangatnya,” kata Mama saat aku bertanya-tanya mengapa Mama dan Pani menyebarkan berita tentangku dan menyuruh teman-temanku datang.

Ahamdulillah, aku sudah sembuh. Batinku juga sudah sembuh. Aku hanya tinggal menunggu bekas luka di lenganku kering dan lebam-lebam di tubuhku hilang.

Well...

Terima kasih.


No comments:

Post a Comment