Hujan turun siang
itu, membasahi atap sebuah kafe yang sedang sepi pengunjung. Di sudut balkon
kafe tersebut sedang duduk dua muda-mudi: seorang laki-laki yang memakai kaos
abu-abu berlapis kemeja merah jambu, celana jeans dan sepatu keds biru tua bergaris coklat, dan
seorang perempuan yang memakai baju rajut putih, celana jeans hitam dan sepatu keds putih. Tidak ada perbincangan yang
sedang terjadi; mereka berdua terlihat sibuk dengan pikirannya masing-masing,
membiarkan suara hujan memenuhi telinga mereka. Dua cangkir cappucino di atas meja terlihat kesepian
karena dianggurkan oleh para pemiliknya.
Beberapa saat
kemudian terlihat pergerakan dari si laki-laki. Dia mengambil handphone-nya yang sedari tadi ikut
menganggur di samping cangkirnya, lalu ibu jari kanannya mulai menari di atas
layar. Si perempuan yang sedari tadi melihat ke bawah—di mana kedua tangannya
sedang bertaut-tautan—melirik ke laki-laki di depannya. Menghela napas, dia
menarik lengan bajunya hingga ke siku. Untuk beberapa detik dia memperhatikan
si laki-laki, kemudian sebuah suara dehaman tercipta dari tenggorokannya.
“Akan kemana kita
setelah ini?” tanya si perempuan. Dia terlihat seperti sedang menahan kesalnya.
Si laki-laki mengangkat
pandangan matanya dari layar ke wajah si perempuan. “Terserah,” jawabnya
setelah dia mengangkat bahunya, lalu dia kembali memandang layar.
“Kau selalu
begitu,” Si perempuan menatap si laki-laki dengan lekat. “Bicaralah sesuatu,
aku bingung harus bersikap bagaimana.”
“Bicara tentang
apa?” Laki-laki itu kembali memandang si perempuan, menunggu jawaban.
“Apa saja,”
“Misalnya?”
Si perempuan
kembali menghela napas. “Minumlah kopimu, sepertinya sudah dingin.”
“Misalnya apa?”
Terdengar nada paksaan di pertanyaan si laki-laki. Dia menatap si perempuan
dengan dingin, layar handphone di
tangannya perlahan meredup.
“Kau ini...”
Perempuan itu kini terdengar gelisah. “...selalu menyebalkan. Bagaimana kalau
kita berkelahi saja?”
Laki-laki itu
menyengir dingin, sedingin tatapan matanya. “Untuk apa aku melawan perempuan?”
Si perempuan
balas menyengir, namun cengirannya terasa hangat, sehangat perasaannya terhadap
laki-laki itu, laki-laki yang telah lama mengambil hatinya dan menguncinya
rapat-rapat. “Syukurlah, ternyata kau menganggapku perempuan.”
Alis laki-laki
itu mengernyit. “Jadi kaupikir selama ini bagaimana?” Lalu dia kembali
memainkan handphone-nya, menganggap
enteng perkataan perempuan itu yang kini semakin lekat menatapnya,
memperhatikan setiap gerak-gerik jari dan kedipan kelopak matanya.
Laki-laki itu
tidak mengetahui bahwa perempuan di hadapannya itu sedang melawan pergolakan
batin. Dia tidak mengetahui seberapa salah tingkahnya perempuan itu jika sedang
berada di dekatnya. Dia tidak mengetahui seberapa bingungnya perempuan itu untuk
mencari bahan pembicaraan yang tidak membosankan dan mengesalkannya. Dia tidak
mengetahui seberapa cepatnya jantung perempuan itu berdegup saat ditatap
olehnya. Dia tidak mengetahui seberapa sedihnya perempuan itu jika tidak
diacuhkannya. Dan dia... tidak mengetahui seberapa dalamnya perempuan itu
memiliki rasa terhadapnya. Laki-laki itu tidak tahu.
... atau mungkin
dia tahu, namun dia tidak peduli akan semua itu.
“Aku pikir kau
tidak pernah menganggapku perempuan,” ujar si perempuan. “Aku pikir aku bukanlah
seorang perempuan bagimu.”
Tidak ada
tanggapan. Laki-laki itu semakin menyibukkan dirinya dengan handphone-nya. Itulah yang paling
mengesalkan bagi si perempuan.
“Karena...” Si
perempuan menghentikan kalimatnya sejenak, lalu dia meletakkan kedua tangannya
di atas meja. Pandangannya tidak terlepas dari si laki-laki. Dia menunggu
apakah laki-laki itu akan penasaran atau tidak. Namun setelah beberapa saat
berlalu, tetap tak ada respon dari si laki-laki. Mengetahui bahwa tak ada
tanda-tanda laki-laki itu akan menanggapi, dia memutuskan untuk melanjutkan
kalimatnya. “...Laki-laki tidak akan menyakiti perempuan.”
Jari laki-laki
itu tiba-tiba berhenti bergerak. Pergerakan kelopak matanya menunjukkan dia
seperti ingin memandang si perempuan, namun ditahan, untuk beberapa detik
posisi mereka seolah ter-paused;
tidak ada pergerakan kecuali dari rambut si perempuan dan kemeja si laki-laki
yang disentuh oleh angin. Kemudian laki-laki itu kembali bergerak; dia
meletakkan handphone-nya kembali di
atas meja, lalu bersandar di kursinya. Pupil coklat di kedua matanya terarah
langsung ke mata hitam perempuan itu, seolah ingin menusuk dengan tatapan
tajamnya.
Si perempuan
mencoba bertahan dalam sakitnya tatapan itu. Dia kembali merasakan dingin yang
bukan dibawa oleh hujan, melainkan dari sosok yang sepertinya sedang
menginterogasinya. Seberapapun sakit dan dingin yang dirasakannya, perempuan
itu tak sedikitpun terlihat berusaha untuk mengelak. Karena dia tahu, laki-laki
yang sedang memberikannya rasa sakit dan dingin itu lah yang juga menjadi obat
untuk menyembuhkannya.
... Karena saat
menatap matanya, dia merasa menjadi perempuan yang seutuhnya.
▬
▬
No comments:
Post a Comment