Thursday, 9 April 2015

Perempuan



Hujan turun siang itu, membasahi atap sebuah kafe yang sedang sepi pengunjung. Di sudut balkon kafe tersebut sedang duduk dua muda-mudi: seorang laki-laki yang memakai kaos abu-abu berlapis kemeja merah jambu, celana jeans dan sepatu keds biru tua bergaris coklat, dan seorang perempuan yang memakai baju rajut putih, celana jeans hitam dan sepatu keds putih. Tidak ada perbincangan yang sedang terjadi; mereka berdua terlihat sibuk dengan pikirannya masing-masing, membiarkan suara hujan memenuhi telinga mereka. Dua cangkir cappucino di atas meja terlihat kesepian karena dianggurkan oleh para pemiliknya.

Beberapa saat kemudian terlihat pergerakan dari si laki-laki. Dia mengambil handphone-nya yang sedari tadi ikut menganggur di samping cangkirnya, lalu ibu jari kanannya mulai menari di atas layar. Si perempuan yang sedari tadi melihat ke bawah—di mana kedua tangannya sedang bertaut-tautan—melirik ke laki-laki di depannya. Menghela napas, dia menarik lengan bajunya hingga ke siku. Untuk beberapa detik dia memperhatikan si laki-laki, kemudian sebuah suara dehaman tercipta dari tenggorokannya.


“Akan kemana kita setelah ini?” tanya si perempuan. Dia terlihat seperti sedang menahan kesalnya.

Si laki-laki mengangkat pandangan matanya dari layar ke wajah si perempuan. “Terserah,” jawabnya setelah dia mengangkat bahunya, lalu dia kembali memandang layar.

“Kau selalu begitu,” Si perempuan menatap si laki-laki dengan lekat. “Bicaralah sesuatu, aku bingung harus bersikap bagaimana.”

“Bicara tentang apa?” Laki-laki itu kembali memandang si perempuan, menunggu jawaban.

“Apa saja,”

“Misalnya?”

Si perempuan kembali menghela napas. “Minumlah kopimu, sepertinya sudah dingin.”

“Misalnya apa?” Terdengar nada paksaan di pertanyaan si laki-laki. Dia menatap si perempuan dengan dingin, layar handphone di tangannya perlahan meredup.

“Kau ini...” Perempuan itu kini terdengar gelisah. “...selalu menyebalkan. Bagaimana kalau kita berkelahi saja?”

Laki-laki itu menyengir dingin, sedingin tatapan matanya. “Untuk apa aku melawan perempuan?”

Si perempuan balas menyengir, namun cengirannya terasa hangat, sehangat perasaannya terhadap laki-laki itu, laki-laki yang telah lama mengambil hatinya dan menguncinya rapat-rapat. “Syukurlah, ternyata kau menganggapku perempuan.”

Alis laki-laki itu mengernyit. “Jadi kaupikir selama ini bagaimana?” Lalu dia kembali memainkan handphone­-nya, menganggap enteng perkataan perempuan itu yang kini semakin lekat menatapnya, memperhatikan setiap gerak-gerik jari dan kedipan kelopak matanya.

Laki-laki itu tidak mengetahui bahwa perempuan di hadapannya itu sedang melawan pergolakan batin. Dia tidak mengetahui seberapa salah tingkahnya perempuan itu jika sedang berada di dekatnya. Dia tidak mengetahui seberapa bingungnya perempuan itu untuk mencari bahan pembicaraan yang tidak membosankan dan mengesalkannya. Dia tidak mengetahui seberapa cepatnya jantung perempuan itu berdegup saat ditatap olehnya. Dia tidak mengetahui seberapa sedihnya perempuan itu jika tidak diacuhkannya. Dan dia... tidak mengetahui seberapa dalamnya perempuan itu memiliki rasa terhadapnya. Laki-laki itu tidak tahu.

... atau mungkin dia tahu, namun dia tidak peduli akan semua itu.

“Aku pikir kau tidak pernah menganggapku perempuan,” ujar si perempuan. “Aku pikir aku bukanlah seorang perempuan bagimu.”

Tidak ada tanggapan. Laki-laki itu semakin menyibukkan dirinya dengan handphone-nya. Itulah yang paling mengesalkan bagi si perempuan.

“Karena...” Si perempuan menghentikan kalimatnya sejenak, lalu dia meletakkan kedua tangannya di atas meja. Pandangannya tidak terlepas dari si laki-laki. Dia menunggu apakah laki-laki itu akan penasaran atau tidak. Namun setelah beberapa saat berlalu, tetap tak ada respon dari si laki-laki. Mengetahui bahwa tak ada tanda-tanda laki-laki itu akan menanggapi, dia memutuskan untuk melanjutkan kalimatnya. “...Laki-laki tidak akan menyakiti perempuan.”

Jari laki-laki itu tiba-tiba berhenti bergerak. Pergerakan kelopak matanya menunjukkan dia seperti ingin memandang si perempuan, namun ditahan, untuk beberapa detik posisi mereka seolah ter-paused; tidak ada pergerakan kecuali dari rambut si perempuan dan kemeja si laki-laki yang disentuh oleh angin. Kemudian laki-laki itu kembali bergerak; dia meletakkan handphone­-nya kembali di atas meja, lalu bersandar di kursinya. Pupil coklat di kedua matanya terarah langsung ke mata hitam perempuan itu, seolah ingin menusuk dengan tatapan tajamnya.

Si perempuan mencoba bertahan dalam sakitnya tatapan itu. Dia kembali merasakan dingin yang bukan dibawa oleh hujan, melainkan dari sosok yang sepertinya sedang menginterogasinya. Seberapapun sakit dan dingin yang dirasakannya, perempuan itu tak sedikitpun terlihat berusaha untuk mengelak. Karena dia tahu, laki-laki yang sedang memberikannya rasa sakit dan dingin itu lah yang juga menjadi obat untuk menyembuhkannya.

... Karena saat menatap matanya, dia merasa menjadi perempuan yang seutuhnya.

No comments:

Post a Comment