Indah.
Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan pendapatku tentangmu saat aku menatap kedua matamu.
Kau sedang berceloteh saat itu. Di atas sebuah bangku panjang, di suatu tempat, kita berdua duduk saling berhadapan. Kau mengenakan kaos hitam berlengan pendek yang biasa kaupakai. Rambutmu yang telah kaupangkas terlihat rapi dan segar di mataku. Dengan wajah yang berseri-seri kau berbicara, menceritakan hal entah apa yang sama sekali tak dapat kuingat sampai sekarang. Tatapan matamu tetap sendu. Sembari berbicara, kau memandang bergantian ke arahku dan arah lain.
Kau dan aku, aku dan kau. Kita. Berdua.
Ya... Berdua.
Apa kau mempercayainya, Sayang? Kita duduk berdua, berdekatan. Memandang dan berbicara satu sama lain. Seperti tidak ada hal mengerikan apapun yang pernah terjadi.
Sebenarnya aku tak sepenuhnya berbicara, atau mungkin bahkan aku tidak berbicara sama sekali, karena yang kuingat adalah aku sedang menatap wajahmu; memperhatikanmu. Kau berbicara, aku mendengarkan. Sesederhana itulah rasa senang dan nyaman muncul di diriku.
Errr, tapi, Sayang, aku ragu apakah aku benar-benar mendengarkanmu atau tidak. Ceritamu panjang, namun tak ada satupun yang masuk ke dalam otakku. Padahal kedua kupingku tidak bermasalah untuk menangkap suaramu. Suara bass yang keluar dari rongga mulutmu yang dulunya tidak kusukai karena terdengar menyakitkan, kini terdengar merdu baik di telingaku maupun di hatiku.
Kau terus berceloteh dan aku terus memandang. Aku memangku wajahku dengan kedua tanganku agar posisiku tak goyah saat aku sedang berkonsentrasi mengunci pandanganku padamu. Mataku tak sanggup untuk berhenti menyapu wajahmu, memperhatikan detail di setiap incinya. Kening, mata, hidung, pipi, bibir dan dagu, semuanya terbentuk dengan indah. Ah, aku tak bermaksud menggombal, Sayang, namun kau memang terlihat indah di mataku. Bagai lautan luas nan dalam, kedua matamu memiliki kekuatan besar untuk menyeretku ke tengah dan menenggelamkanku. Saat kau berbicara, sebelah alismu sering terangkat. Kau tahu, Sayang, bagiku itu seksi. Oh sudahlah, aku tak tahan untuk memperpanjang penjelasan tentang fisikmu.
Dan tiba-tiba, saat aku sedang hanyut dan larut dalam matamu, kau berhenti bersuara. Kau menatapku. Lalu, sepersekian detik kemudian, dengan kedua tanganmu kau menarik wajahku mendekat ke wajahmu, dan tanpa kuduga kau mendaratkan bibirmu di atas bibirku.
Kau menciumku.
Lembut, hangat, manis.
Tiga kata itulah yang muncul di benakku seketika itu juga.
Kau menciumku tanpa pergerakan; hanya sebuah tekanan kecil yang kuterima, namun aku menyukainya, Sayang, aku sangat menyukainya. Jantungku seolah berhenti berdetak. Tubuhku mematung. Aku dapat merasakan panas yang mengalir darimu. Kedua tanganmu yang sedang memegang wajahku terasa halus dan hangat. Dan kedua bibirmu terasa lembut dan menenangkan. Sayang, kau terasa manis. Sangat manis.
Beberapa detik kemudian kau melepas ciumanmu. Lalu, dengan wajah sumringah kau tersenyum; senyum indah yang seketika dapat membuatku ikut tersenyum. Jantungku sudah kembali berdetak normal dan tubuhku sudah dapat digerakkan kembali. Namun hangat dan manis darimu masih melekat padaku. Ah, betapa bahagianya aku.
Memang ciuman darimu itu bukan merupakan yang pertama bagiku, namun baru denganmu lah aku merasakan rasa nyaman yang sedalam ini. Apakah kau pernah mencium seseorang sebelum aku, Sayang?
Sayang, terima kasih.
Aku senang bisa duduk berdua denganmu.
Aku senang bisa berbicara denganmu.
Aku senang bisa memandangimu.
Sayang, terima kasih.
Aku senang bisa mendapat sebuah kecupan darimu.
Aku senang karena aku tak pernah menduga kau akan melakukan itu.
Aku senang karena kau telah membuatku senang.
Sayang, terima kasih.
Terima kasih untuk kebahagiaan sesaat yang kauberikan.
Dan, Sayang, terima kasih.
Terima kasih atas hadirmu yang tidak nyata.
No comments:
Post a Comment