"Pinggir ya, Pak." Angkot yang aku naiki pun berhenti di simpang Joshua.
"Pancing, ya?" Aku mendengar suara seorang laki-laki saat aku turun dari angkot. Dan ternyata sang pemilik suara itu adalah seorang murid laki-laki berpakaian SMA yang sedang bertanya pada supir angkotku. Sepertinya anak itu Chinese.
"Aksara," Sayup-sayup kudengar si supir menjawab.
Setelah aku membayar ongkosku dan angkot itu pergi, aku menyeberang jalan. Sudah sampai di seberang, aku melambatkan jalanku. Ah, aku kepikiran anak sekolah itu.
Aku berbalik badan untuk melihatnya. Dia berdiri di sana, mengawasi jalan, terlihat gelisah. Pasti dia tidak tahu angkot apa yang melewati Jalan Pancing. 'Apa kuberitahu saja, ya...' batinku.
Pantas saja dia tidak tahu, tidak ada orang di sekitarnya untuk ditanya. Atau memang dia tidak mau bertanya.
Dengan rasa kasihan yang semakin tumbuh, aku memutuskan untuk kembali menyeberang jalan.
Dia melihatku mendekat. Ekspresinya berubah menjadi heran.
Kulit putih, mata sedikit sipit, potongan rambut rapi, berpakaian rapi, dan tas ransel hitam besar. Sepertinya dia Chinese yang bersekolah di Sutomo atau Methodist.
"Naik kosong empat kuning," ujarku saat sudah tiba di depannya. Dia bertubuh tinggi.
"Kosong empat?" Dia bertanya ulang dengan nada datar, namun senyuman terpatri di wajahnya. Tuhan, dia manis.
"Iya, kosong empat kuning." Ulangku, sembari sedikit melebarkan senyumku.
"Makasih, ya." Dia menganggukkan kepalanya, senyumnya lebih lebar dari yang tadi.
Aku balas mengangguk, lalu berbalik badan, dan kembali menyeberang jalan. Entah kenapa, rasanya aku ingin tersenyum karena kelakuanku tadi.
Perasaanku sudah tenang, namun wajahnya bermain-main di pikiranku.
mungkin aja dia mau ngajak supirnya mancing. 'mancing pak?' akkakakakak
ReplyDeletePerasaan udah pernah kukomen ini.. ternyata nggak tekirim ya. Kkkkk. =____=
Delete