People come and go.
Begitu kata
mereka. Sebuah kalimat yang berulang kali aku coba untuk percaya di saat
kalimat itu juga berulang kali membuktikan kebenarannya. Ya, aku selalu
menampik bahwa orang-orang datang dan pergi, bahwa mereka datang untuk pergi.
Aku selalu berusaha untuk tidak menyetujui teori bahwa tidak akan ada kata
‘datang’ jika tidak ada kata ‘pergi’. Aku juga selalu meyakinkan diri bahwa
tidak selamanya orang yang telah datang akan pergi. Jadi kuputuskan untuk tidak
menyukai kalimat itu.
Dan sekarang
kalimat itu menantangku kembali.
Kali ini dia
menggunakanmu sebagai tokohnya—membiarkanku melihat potongan adegan lain
sebagai bukti.
Kau datang ke
kehidupanku, mengenalkan dirimu sebagai seseorang yang kesempurnaannya dapat membutakan
mataku. Sejak hari itu aku tak bisa melihat sosok lain yang lebih menyenangkan
daripada sosokmu. Selalu kutujukan mataku ke arahmu, memandangmu secara lekat
untuk menyaksikan bagaimana caramu memasuki pikiranku. Mencuri rasaku; kau
melakukannya secara sempurna, sesempurna pesonamu. Semakin hari kau menjatuhkan
perasaanku semakin dalam, tak sedikitpun membiarkanku mengetahui celah untuk
keluar. Namun tak ada sedikitpun niatku untuk kabur. “Rasamu kusimpan dalam
sebuah lemari khusus, kukunci dengan rapat agar tak ada yang bisa
mengambilnya.” Kalimat yang kaukeluarkan itulah yang menempati seluruh isi
kepalaku hingga kalimat lain tak dapat mengambil tempat. Aku yakin padamu, juga
yakin pada keyakinanku bahwa kau akan terus bersamaku.
Namun kenyataan mulai
berbicara lain. Setinggi apapun keyakinanku, tak sedikitpun kau mencoba untuk
memegangku. Kau membiarkanku terkurung jauh dalam lemarimu, namun kau tak
pernah memegang kuncinya. Aku tertahan, sedang kau mulai berjalan menjauh.
Sekeras mungkin aku berteriak memanggilmu, menyebut keras namamu, namun tak ada
tanda-tanda langkahmu akan berhenti. Seolah ada dinding api tak terlihat,
suaraku terbakar hangus tepat di belakang tengkukmu, tak pernah bisa sampai ke
ujung telingamu. Seiring pergantian waktu sosokmu semakin berlalu. Dari sebuah
kesempurnaan yang jelas, kini aku hanya bisa melihat sebuah siluet kabur yang
memedihkan mata. Semakin kucoba untuk memicingkan mata, semakin pedih rasanya.
Sampai akhirnya mataku tak dapat menahan isinya.
Kau telah
membuatku menangis. Menangis akan pudarnya sosokmu dan menangis akan
keyakinanku terhadapmu.
Semua yang aku
lakukan dan semua yang kaulakukan ternyata tidak berujung sama. Aku
mempertahankanmu, namun kau melepaskan diri dariku. Kau seolah menyesali takdirmu
yang telah mempertemukanmu denganku. Aku melihatmu mempercepat langkah, dan
bayangmu menjadi semakin jauh. Kucoba untuk berpikir, mencari cara untuk
membuatmu berbalik, namun kalimat yang tidak kusukai itu berbisik kasar di
pikiranku; tidak ada yang dapat mengembalikanmu. Aku kembali menampiknya,
berusaha sekuat mungkin untuk bertahan dalam keyakinan bahwa kau tak akan
meninggalkanku, bahwa kau tak mungkin sekejam itu.
Namun ternyata
kalimat itu lebih berkuasa atasmu. Dia berhasil mengalahkanku sekali lagi, mengharuskanku
untuk menerima bahwa manusia yang datang akan selalu pergi. Apapun caraku untuk
melawannya tak akan bisa mengubah kenyataan bahwa arti dari kalimat itu mutlak,
tidak dapat diganggu gugat.
Aku tak lagi bisa
melihat sosokmu. Setajam apapun, penglihatanku tak berpengaruh.
Karena kini kau
telah pergi.
... dan mungkin
tak akan kembali.
▬
▬
No comments:
Post a Comment