Hi, Sayang, selamat tengah malam. Apa yang sedang kaulakukan sekarang? Aku melihat Facebook-mu sedang online. Oh tenang saja, aku tidak senekat itu untuk menyapamu sekarang. Aku tidak ingin mengusik ketenanganmu.
Dua hari telah berlalu sejak kau tak lagi menginjak tempat itu. Sepi. Aku merasakan sepi yang lebih. Padahal sudah hampir tiga minggu aku tidak melihatmu, bahkan sedari saat kau masih ada di sana. Kita berada di tempat yang sama, gedung yang sama, namun selama hampir tiga minggu itu aku sengaja menjauh agar kau tidak melihat sosokku. Semuanya lari dari rencana. Aku sebelumnya ingin memuaskan batinku untuk memandangmu sesering mungkin sebelum kau pergi. Namun beberapa hal telah terjadi, membuat keinginanku memudar. Aku tak lagi berlama-lama menantikanmu keluar, tak lagi berusaha untuk melihatmu. Hal itu kulakukan dengan memegang keyakinan bahwa nanti kita pasti akan bertemu lagi. Dan kenyataan bahwa kita menginjak area yang sama serta menghirup udara yang sama membuatku semakin ringan menjalankannya.
Tapi sekarang kau tak lagi berpijak di sana. Kita tak lagi menghirup udara yang sama. Kita tak lagi menuntut ilmu di bawah yayasan yang sama. Kita tak lagi berada di tempat yang sama.
Dan mengetahui itu membuatku seakan terbunuh.
Biasanya aku pergi ke sana dengan berbekal harapan besar untuk dapat bertemu denganmu; kita bisa bertemu di banyak tempat, mungkin di kantin, di lorong gedung, atau di depan gerbang. Saat aku belajar di kelas, aku selalu tak sabar menunggu jam istirahat tiba agar aku bisa ke kantin, bahkan tidak jarang aku permisi keluar saat jam kuliah masih berlangsung. Intinya saat itu aku masih memegang sebuah asa: kau ada di lantai atas, aku ada di lantai bawah. Namun sekarang asa itu telah menguap dari tanganku. Sosokmu tidak lagi berada di lantai itu, yang tertinggal hanya aku, duduk di kelasku. Aku juga tak lagi melihat motormu terparkir di sana saat aku pulang. Tidak ada lagi matic ungu dengan helm hitam yang disangkutkan di spionnya. Ah, aku tak bisa lagi meletakkan 'hadiah' di lacinya.
Kau tahu, Sayang, aku pikir perasaanku akan biasa saja, tapi ternyata ketiadaanmu berdampak dengan sangat terasa.
Kini pikiranku tertanam akan satu hal: apa yang akan menjadi pemompa semangatku untuk satu tahun ke depan? Kesempatanku bertemu denganmu telah menipis. Aku tak tahu dimana lagi aku mempunyai alasan untuk dapat melihatmu.
Bisakah kauberitahu aku, Sayang, apakah masih ada kesempatan untukku... untuk bisa melihatmu, untuk bisa menebus rinduku, untuk bisa mengurangi rasa sakitku?
Maafkan aku jika aku masih terlalu memaksakan kehendakku. Maafkan aku jika kaurasa aku masih mengusikmu. Maafkan aku jika aku belum keluar dari garis tenangmu. Namun inilah aku, perempuan bodoh yang belum mampu untuk menghapusmu, yang tetap bangga akan rasa yang dimilikinya walau sudah berkali-kali ditimpa luka.
Aku merindukanmu, Sayang.
Aku sangat merindukanmu.
Masihkah takdir mengizinkan kita bertemu?
P.S.:
Mulai dibuat pukul 2 kurang beberapa menit.
Mataku berair beberapa kali.
▬
No comments:
Post a Comment